SAIRERINEWS.COM – Terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjalani sidang replik di Pengadilan Negeri Jakarta Timur hari ini, Senin 4/12/2023.
Agenda sidang adalah jaksa penuntut umum (JPU) menanggapi nota pembelaan atau pleidoi kedua terdakwa.
Salah satu jaksa, Shandy Handika, menjelaskan kepada majelis hakim bahwa isi replik untuk Haris dan Fatia sama. Karena itulah, majelis hakim memutuskan sidang replik dua aktivis HAM itu digelar bersamaan.
Menurut Shandy, jaksa hanya akan membacakan poin pokok replik. “Kami akan bacakan pokok-pokok penting saja. Izin yang mulia, pertama akan bacakan pleidoi pribadi dari Haris Azhar,” kata Shandy.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memperkarakan Haris dan Fatia ke polisi. Objek perkara adalah video podcast mereka yang membahas soal ekonomi-politik penempatan militer di Papua.
Luhut mempermasalahkan kata ‘Lord Luhut’ yang disebut dalam podcast tersebut dan merasa nama baiknya dicemarkan. Kasus dugaan pencemaran nama baik ini sedang diproses di PN Jaktim.
Baik Haris atau Fatia telah membacakan pleidoi pada Senin, 27 November 2023. Haris Azhar mengaitkan nota pembelaannya dengan kata-kata Nelson Mandela. “A nation should not be judged by how it treats its highest citizen, but its lowest ones,” yang artinya Suatu bangsa tidak boleh dinilai dari cara mereka memperlakukan warga negaranya yang paling tinggi, tapi bagaimana mereka memperlakukan warga negara yang paling rendah, ucap pendiri Lokataru Foundation Haris Azhar.
Sementara itu, Victor Yeimo, Jurubicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) meminta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cokorda Gede Arthana untuk menghentikan kriminalisasi dan segera bebaskan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Hal itu disampaikan Victor Yeimo dalam video melalui akun facebooknya, Sabtu, 2/12/2023 kemarin.
Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti merupakan aset negara yang kritis terhadap demokrasi, representasi moral, dan referensi intelektualitas yang ada di negara Indonesia untuk membela rakyat yang mengalami kesenjangan hak dalam hukum.
“Suara Haris dan Fatia yang kritis representasi moral suara kritis, bahwasanya benar-benar terjadi di tanah Papua yang sedang kami rasakan pembungkaman ruang ekspresi dan perampasan hak adat, eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua,” katanya.
Menurutnya, orang lain di Indonesia menganggap bahwa Papua aman-aman saja namun faktanya Papua darurat ruang demokrasi dan militerisme melawan rakyat Papua. (*)