SAIRERINEWS.COM – Sejak kasus Sambo terungkap ke publik pada 11 Juli 2022, tiga hari setelah pembunuhan Joshua Hutabarat, dunia hukum Indonesia heboh. Bukan hanya di lingkup Kepolisian Republik Indonesia dimana para pelaku dan korban adalah Anggota Kepolisian, namun juga menarik perhatian masyarakat luas.
Skenario (perencanaan) untuk pembunuhan tersebut awalnya hanya terlihat sporadis, terjadi tembak menembak antara anak buah/ajudan cs Sambo, namun Richard Eliezer yang merupakan penembak Joshua buka suara dengan mengakui bahwa ia diperintah atasannya, Fredy Sambo, termasuk skenario tembak menembak.
Disinilah awal mula, proses Richard Eliezer menjadi Justice Collaborator (JC) sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Masyarakat awam perlu ketahui bahwa JC diartikan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama, seorang pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan mengungkap tindak pidana dengan memberikan informasi, bukti dan kesaksian yang valid guna menyelesaikan perkara tindak pidana, dengan catatan yang bersangkutan bukanlah seorang pelaku utama. Mengapa Eliezer yang pelaku pembunuhan bisa menjadi JC? sebelum lebih jau menjelaskan hal ini, alangkah baiknya kita kembali pada akar sejarah istilah ini muncul.
Sejak JC pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat tahun 1970-an sebagai norma hukum dalam penegakan hukum perihal mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah Omerta (sumpah tutup mulut) saat diseret ke pengadilan. Maka dengan maksud agar mafia mau memberikan informasi-membuka kasus, maka diberikanlah JC berupa perlindungan hukum bagi pelaku.
Kapan status JC diberikan? Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan ruang kepada aparat penegak hukum memberikan status JC sejak proses penyidikan. Namun, ada pandangan baik penyidik maupun penuntut umum, termasuk pakar hukum pidana menghendaki status JC diberikan setelah calon JC menyampaikan keterangannya sebagai saksi di persidangan. Pendapat ini didasarkan pada kekhawatiran bahwa calon JC tidak mengungkap keterangan yang benar ketika bersaksi di persidangan. Kekhawatiran ini beralasan, tetapi tidak sepenuhnya benar.
Apabila merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pemberlakuan bagi Saksi Pelapor (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dalam Tindak Pidana Tertentu, terbuka ruang bagi pelaku yang bekerja sama yang tidak ditetapkan sebagai JC dalam tuntutan jaksa memperoleh status JC dari hakim. Alasannya, karena dalam SEMA tersebut hakim diberi wewenang untuk menetapkan terdakwa sebagai JC jika dinilai memenuhi syarat sebagai JC.
Dengan demikian, ada syarat yang harus terpenuhi untuk menjadi JC yaitu: Keterangan yang diberikan harus keterangan yang benar, bukti yang diberikan signifikan, jelas dan andal dalam mengungkap kasus tindak pidana yang terorganisir dan/atau serius; bukan seorang pelaku utama dalam tindak pidana yang terorganisir dan/atau serius yang dihadapinya; Bersedia membuat pernyataan tertulis bersedia mengembalikan aset yang telah didapatnya dari tindak pidana yang terorganisir dan/atau serius. Jelas disini bahwa kasus pembunuhan sebagaimana dilakukan Eliezer tidak termasuk.
Selain persyaratan umum tersebut, persyaratan dan kriteria seseorang yang bisa menjadi JC dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni pengajuan menjadi JC pada saat masa penyidikan dan persidangan dan pada saat yang bersangkutan telah menjadi narapidana. Persyaratan dan kriteria JC saat masa penyidikan dan persidangan adalah: seorang saksi yang ingin mengajukan diri sebagai saksi pelaku yang bekerjasama haruslah salah satu orang yang melakukan tindak pidana tersebut, dia adalah salah satu dari pelakunya dan tidak boleh pelaku utama; Saksi pelaku yang bekerja sama harus telah mengakui semua perbuatannya dalam tindak pidana yang sedang dijalaninya, saksi tidak berbelit-belit bahkan mengelak perbuatannya dalam tindak pidana tersebut. Ini jelas berbeda dnegan konsep JC di Amerika Serikat.
Mengutip apa yang dikatakan Prof Romli Atmasasmita, Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran bahwa dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban di Amerika Serikat, JC adalah saksi yang tidak memiliki peranan utama dalam peristiwa kejahatan.
Begitu pula Undang-Undang yang sama menyatakan jelas bahwa saksi pelapor bukan terdakwa pelaku utama dalam kejahatan. Masih menurut Romli Atmasasmita sesungguhnya kekeliruan penetapan Eliezer sebagai JC telah dimulai oleh LPSK yang tidak jeli dan tegas menyikapi permohonan perlindungan saksi oleh Elizer melalui kuasa hukummya.
Sebab, permohonan tersebut tidak memenuhi dua hal yang menjadi syarat pemberian perlindungan. Pertama, tindak pidana pembunuhan berencana tidak termasuk tindak pidana yang wajib diberikan perlindungan, kecuali untuk kasus terorisme, narkoba, dan korupsi dan tindak pidana terorganisasi lain seperti perdagangan manusia khusus perempuan dan anak.
Alasan kedua, dalam Peraturan Nomor 04 Tahun 2011 yang merupakan pedoman untuk menentukan seseorang sebagai pelaku JC, yang bersangkutan mengakui kejahatan yang dilakukan, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.
Jika Eliezer memenuhi persyaratan sebagai JC, maka yang bersangkutan memperoleh hak dan fasilitas yang bertujuan memberikan perlindungan keamanan, baik secara fisik maupun secara psikis.
Selain itu, seorang JC memperoleh keringanan hukuman, dan hakim diwajibkan dapat menjatuhkan pidana bersyarat khusus, dan/atau menjatuhkan pidana penjara berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara pembunuhan Joshua tersebut.
Kembali menyetir pendapat Prof Romli Atmasasmita bahwa semakin jelas kekeliruan yang telah terjadi dalam pemberian JC kepada Eliezer oleh LPSK. Seyogyanya status Eliezer yang memperoleh status JC disampaikan sejak awal sidang setelah kuasa hukum menyatakan telah menyampaikan surat LPSK kepada Hakim Ketua.
Kemudian Hakim Ketua menyampaikan kepada JPU hal-hal yang perlu disampaikan dan dipertanyakan.
Ini memang menjadi pekerjaan rumah, mengingat pengaturan soal JC sebagaimana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban maupun Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI 04 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama belum memberikan pengaturan yang proporsional, sehingga keberadaan JC bisa direspon secara berbeda oleh penegak hukum.
Misalnya pada SEMA dimana kelahirannya didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam tindak pidana tertentu yang serius seperti teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, telah menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat, sehingga perlu ada perlakuan khusus kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui atau menemukan suatu tindak pidana yang membantu penegak hukum dalam mengungkapnya.
Selain SEMA, Peraturan Bersama Nomor 11 Tahun 2011, yang dinilai sebagai terobosan hukum dalam rangka mengisi kekosongan hukum namun dalam pelaksanaannya tetap ditemukan kendala.
Kendala utama yang ditemukan adalah penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama. Perwujudan dari penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama juga yang tidak jelas, yang mana terlihat pada Pasal 6 ayat 3.
Lembaga penegak hukum lebih cenderung menggunakan KUHAP dari pada Peraturan Bersama, sehingga hak-hak saksi pelaku yang bekerjasama, dalam praktiknya tidak mendapatkan penanganan khusus.
Atas kerumitan norma yang ada tentang JC, maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 khususnya pada Pasal 10 merumuskan norma sebagai berikut :
Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dana tau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, kedepan hendaknya perlu dipikirkan secara lebih mendalam apakah tetap mempertahankan LPSK seperti sekarang ini, LPSK baru dengan diperluas kewenangannya ataukah lembaga baru bersifat mandiri dan independen yang mengatur khusus tentang JC sebagaimana dikenal di Amerika Serikat, Afrika Selatan, atau Belanda dan negara lainnya;
Hendaknya dibuat regulasi baru yang mengatur mengenai JC mengingat baik Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban maupun Peraturan Bersama Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama; atau untuk menguji kelayakan status seseorang menjadi JC, sebaiknya ada lembaga yang melakukan audit hal itu.
Adapun LPSK sebagai lembaga yang di mandatkan memberikan perlindungan kepada JC dapat dilibatkan secara aktif.
Lebih dari itu, penting untuk dipastikan bahwa pemberian status JC bukan lahir dari proses transaksional atau politisasi hukum yang menargetkan pihak tertentu lainnya dijadikan pesakitan. (*)
Penulis : Toenjes Swansen Maniagasi, SH (Ketua PERADI Perjuangan Provinsi Papua)