SAIRERINEWS.COM – Mantembu adalah dua kata ‘man mbu’ dalam bahasa setempat diatrikan Berbunga untuk Berbuah. Mantembu didiami oleh suku Yawa Unat/Onate.
Kampung tua Wasunani, Kuntungani, Mandapira dan Awija harus mengenal injil Firman Tuhan dalam Yesus Kristus, itulah niat dari Kamus (Kamnus) Warkawani.
Kamus Warkawani adalah tokoh masyarakat dengan beberapa tokoh lainnya berpikir dan bertindak untuk perg i dari Wasunani ke Yobi (utara pulau Yapen) menjual hasil alam berupa kulit kayu masohi, aikori dan burung cenderawasih.
Semasa menjual hasil alam mereka, Kamus Warkawani dan teman-teman selalu mengikuti ibadah minggu pagi dan ibadah keluarga.
Meski gagal menjual hasil alam di Yobi hingga Serui, Kamus dan teman-temannya dalam satu waktu mengikuti ibadah-ibadah, hingga Kamus dan teman-temannya berniat untuk masyarakatnya di kampung Wasunani, Kuntungani, Mandapira dan Awija harus menerima Injil Firman Tuhan sebagai jalan Keselamatan.
Kamus Warkawani dan teman-temannya berusaha meyakinkan Pdt. Grondel dan Pdt.Bout, dengan menghadirkan beberapa masyarakat Wasunani, Kuntugani, Mandapira dan Awija mengikuti ibadah minggu pagi di Serui, berbuah berbuah hasil.
Jalan mendaki gunung, lembah dan hutan tidak menjadi kendala bagi Kamus Warkawani berjuang untuk Firman Tuhan harus masuk menyelamatkan kehidupan masyarakat di kampung-kampung nya. Usaha Kamus dalam penyertaan Roh Kudus, akhirnya menyakinkan Pdt. Grondel dan Pdt. Bout.
Pemerintahan Hindia Belanda di Serui, syaratkan pendirian jemaat harus pada daerah yang datar agar dapat diberikan Pelayan Guru Injil untuk beritakan Firman Tuhan memimpin masyarakat beribadah.
Perjuangan yang panjang dari Kamus Warkawani, hingga Pdt. Grondel dan Nyonya, Pdt. Bout,Gr. Kubiari, Gr. Sakalele dan penatua Esao Nenepat jalan menuju kampung Wasunani melewati hutan Rerami, Anotaurei, menyeberang sungai/kali Inumi, kali Konda dan kali Enami hingga mendaki gunung Bumboyasin menuju kampung Wasunani, Rabu 18 April 1925.
Fakta kisah sejarah perjalanan ini yang dapat dikenang hingga saat ini adalah pohon buah Kui yang diberi nama Kui’pandita oleh Kamus Warkawani. Pohon kui yang telah berusia 97 tahun itu diberi nama Kui’pandita karena saat perjalanan kunjungan mereka, Nyonya Grondel sudah tidak mampu berjalan lagi, hingga sampai di tempat yang bernama Atoramo’oman, Nyonya Grondel beristirahat di bawah Pohon Kui tersebut.
Sesampai di Wasunani, Pdt. Grondel dan rombongan melihat masyarakat Kuntugani, Mandapira dan Awija, Pdt. Grondel pun melayangkan pandangan ke kampung-kampung kecil lainnya yaitu Ramantawora.
Masyarakat Ramantawora melambaikan tangan dan berkata “menyebranglah kali Inumi dan selamatkanlah kami” demikian juga dibagian utara kampung Ramantawora berdiam disana suku Woga di Awija.
Dengan keadaan itu, Pdt. Grondel langsung melakukan pengembalaan kepada masyarakat, serta berpesan kepada Kamus Warkawani agar masyarakat harus bersatu membangun kampung di tanah datar barulah mendapat seorang guru injil.
Penjelasan itu diterima oleh masyarakat dan mereka mengungsi tahun 1925 sampai 1926, membentuk kampung di dataran datar rendah antara kali Inumi dan kali Konda.
Pada tahun 1927 datanglah penatua Esao Nenepat membawa gambar Tuhan Yesus dalam bahasa mereka dengan arti “Yesus adalah jalan satu-satunya menuju Kebenaran, Keselamatan dan Kehidupan”.
Kemudian Kamus Warkawani membangun komunikasi dengan saudara-saudaranya yakni kepada suku di kampung Ramantawora dan Awija, yaitu kepala suku Kawara Wayeni dan Waija Wandamani.
Kawara Wayeni dan Waija Wandamani kemudian dibaptis dan menerima nama Kristen yaitu Nataniel Wayeni dan Frans Wandamani. Kedua kepala suku besar ini dibaptis sebagai simbol perubahan bagi orang Yapan telah menerima Yesus Kristus sebagai juru Selamat.
Banyak halangan dan rintangan mereka dapati dalam memindahkan masyarakat untuk berkampung bersama. Kamus Warkawani terus membantu Penatua Esao Nenepat untuk membentuk kampung yang utuh guna pelayanan yang baik.
Ancaman membakar rumah, juga mengajak saudara-saudara dari kampung Sarawandori dan Aromarea untuk hidup bersama dalam perkampungan. Hal ini dilakukan sebagai solusi bersama dalam mengatasi masalah untuk hidup bersama antara suku Yapan dan Woga dalam satu perkampungan.
Suku Yapan banyak yang memilih tetap berada pada lembah Manapawain, sedangkan suku Woga di Mantembu.
Tahun 1928 sampai 1934 kehidupan di kampung tua telah berubah dan berpindah ke kampung baru di dataran rendah. Terbentuklah sup suku dari Yawa Unat/Onate yaitu suku Mantembu, suku Woga dan suku Yapen.
Hasil pelayanan Kamus Warkawani, Esao Nenepat dan hamba Tuhan lainnya, berhasil membentuk satu perkampung yang dinamakan Mantembu (Man Mbu).
Di bawah kaki gunung Tanisi, suku Woga dan Mantembu mendiami kampung Mantembu Satu sedangkan suku Yapen mendiami kampung Mantembu Dua, mengalir kali Manainumi, kali Manakonda dan kali Ansija.
Tahun 1928 dalam tatanan pemerintahan Belanda yang berkedudukan di Biak, melalui Pdt. Grondel dan Pdt. Bout mengutus Guru Hendrikus Infandi asal Numfor melayani di kampung Mantembu.
Setelah Guru Hendrikus Infandi pindah tugas 1929, Guru Tetap Kristian Fatahan sekaligus membuka Sekolah Dasar (SD) YPK Sion Mantembu. Letak SD YPK Sion Mantembu ini menjadi batas antara kampung Mantembu 1 dan Mantembu 2 diatas tanah adat marga Pangkurei yang diserahkan ke Gereja.
Masyarakat membutuhkan sebuah gedung Gereja, hingga disepakatilah Rumah ibadah darurat pertama (1929) oleh Guru Kristian Fatahan (2022 saat ini, lokasinya di rumah keluarga Yesaya Warkawani).
Sedikit bergeser dari rumah ibadah darurat pertama, dibangunlah rumah raturat kedua yang lokasinya bertahan hingga saat ini yaitu Gedung Gereja Kristin Injili di Tanah Papua (GKI) Sion Mantembu.
Tahun 1935 , Guru Kristian Fatahan pindah tugas, dilanjutkan tugas oleh Gr. Isak Samuel Kirihio, sampai 1937.
Dari rumah ibadah darurat pertama dan kedua, dibuatlah rumah ibadah permanen yang dibangun dari tahun 1935 hingga 1938 dilanjutkan juga oleh Guru Gasper.
Gedung Gereja ini yang di bangun selama 5 tahun, Gedung Gereja digunakan selama 30 tahun, hingga tahun 1968 gedung gereja dibongkar melalui ibadah syukur Guru Jemaat E.Tipawael, selanjutnya gedung permanen dibangun dengan peletakan batu pertama 5 Februari 1971 dan ditabiskan 26 oktober 1978 oleh Pdt. Alfred Makimi dan diresmikan atas nama Pemerintah Yapen Waropen oleh Sekretaris Daerah M.F Renyaan.
Selama 24 tahun gedung Gereja GKI Sion Mantembu digunakan sampai 24 Juli 2002, pada minggu pagi mengakhiri penggunaan gedung Gereja lama, dipimpin Guru Jemaat Dominggus Kosmus Woria, atas nama BPK Yapen Timur.
31 Agustus 2007 merupakan peletakan batu pertama dan peresmian tugu injil oleh Badan Pekerja Klasis (BPK) Yapen Timur, Pdt. YH Wayangkau atas nama Kepulauan Yapen, oleh Bupati Decky Nenepat.
Perjalanan panjang dari jemaat dan pendiri gereja kristen injili (GKI) di Tanah Papua, membuahkan hasil hingga 31 Agustus 2022, pemerintah daerah dalam wilayah pelayanan Sinode GKI di Tanah Papua, meresmikan Gedung Gereja GKI Sion Mantembu.
Gedung Gereja baru GKI Sion Mantembu yang diresmikan penggunaanya, adalah bagian dari pembangunan sumber daya manusia, hal ini tentunya memberi motivasi tersendiri bagi jemaat terlebih generasi penerus gereja, generasi penerus Kepulauan Yapen dan generasi penerus bangsa ini.
15 Tahun Pembangunan gedung ini merupakan wujud saling peduli dan saling menanggung beban baik bagi Anggota Jemaat Sion Mantembu dan Anak-anak Tuhan yang berada di mana saja.
Demikian pula kerja keras panitia pembangunan serta topangan jemaat sekitar dan secara umum topangan dari BP Am Sinode GKI Papua, Pemerintah Daerah, Para Donatur, Badan Pekerja Klasis Yapen Selatan dan Warga Jemaat.
Pada Rabu 31 Agustus 2022, tepat 94 usia jemaat Sion Mantembu, Gedung Ibadah kelima (Gedung Permanen ketiga) yang mulai dibangun sejak tahun 31 Agustus 2007 dengan Ukuran 26 Meter x 15 Meter dengan daya tampung 300-400 orang senilai Rp 3.110.000.000,- (Tiga Milyar Seratus Sepuluh Juta Rupiah), akhirnya oleh pertolongan Tuhan, Gedung Gereja baru bisa diresmikan dan ditahbiskan Pada tanggal 31 Agustus 2022.
Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen mengucapkan selamat atas diresmikan dan ditabiskan satu Gedung Ibadah yang berdiri sangat megah di Kampung Mantembu sebagai bentuk Nyata Komitmen Pemerintah dan terhadap Gereja di Usia 94 Tahun Jemaat GKI Sion Mantembu Dalam Khotbah Ibadah yang disampaikan Wakil Sekretaris BP Am Sinode GKI Pdt. Handry Kakiay, S. Th dalam kitab 1 Raja-raja 8:1-13 tentang Penhabisan Bait Suci, dimana Tabut Perjanjian dipindahkan dan kemuliaan Tuhan memenuhi Bait Suci.
Bupati Tonny Tesar dalam sambutannya, menyampaikan pesan bahwa dalam peristiwa penthabisan dan peresmian gedung gereja baru ini adalah kebersamaan dan persaudaraan. Gedung ini tidak dibangun seorang diri tapi atas dasar persekutuan dan kebersamaan, gedung ini merupakan wujud saling peduli dan saling menanggung beban, baik bagi Anggota Jemaat Sion Matembu di mana saja berada, cara mensyukuri yang paling sederhana adalah dengan menanamkan rasa memiliki, jika sudah merasa memiliki maka akan selalu menjaga dan merawatnya.(*)
Dukumen Sejarah Jemaat GKI Sion Mantembu
Penulis : Mark Imbiri